ANGGREK
BULAN
Mereka hanyalah
tumbal yang dikorbankan. Ini adalah hari di mana idealisme dan militansi hilang
makna tercerabut carut marutnya birokrasi. Penghargaan memang tak perlu selalu
terucap, namun ada kalanya butuh pengakuan akan sebuah eksistensi.
“Kenapa harus dia……….?” ,suara anggrek bulan putih cantik yang sedang
mekar itu terdengar gamang.
Krisan kuning yang berdiri tak jauh mengangguk-angguk mengiyakan.
Pohon cemara kecil di sampingnya menyahut, “ Itulah kenyataannya. Dia
yang dipilih. Kau harus menerima….”
Anggrek bulan terdiam. Menerawang sendiri dalam pikirannya. Menyelami
samudera hati. Mengembara dalam padang
tanya tak bertepi. Berkelana di sebuah negeri atas awan mencari sebuah jawaban.
Tak kunjung bersua. Entahlah. Mungkin dia terlalu naïf menafsirkan itu semua.
Terperangkap dalam sebuah ceruk teramat dalam yang sulit dipahami. Dalam.
Gelap. Hening. Tanpa suara.
Dia menjulurkan tangan mencari pegangan. Cercah sinar masih terlalu jauh untuk
menerangi langkahnya. Dia menggerapai dalam gelap. Sia-sia. Dia merasa semakin
jauh terperosok dalam kepiluannya.
Seruak langkah kaki membuyarkan kegalauan dan gundahnya. Anak pemilik
kebun yang gagah dan baik hati menghampiri dan menyiraminya dengan segayung air
yang dia bawa. Air kehidupan yang diambil dari mata air pegunungan di negeri
antah berantah. Diramunya dengan segudang ilmu dan pengetahuan dengan harapan
bisa membuat anggrek bulan dan ratusan bunga lainnya yang ada di kebun itu
menjadi sesuatu yang berguna.
Kesegaran mengaliri tubuhnya. Sulur-sulur akar mengantarkan sinyal-sinyal
kehidupan ke seluruh tangkai dan daunnya. Jerih payah anak pemilik kebun tak
sia-sia. Ketekunannya menyirami dari hari ke hari kini terbalas sudah. Kelopak
bunga cantik menyembul dari sela-sela daun dan akar yang menempel erat di pohon
inang. Mekar. Putih. Menebar pesona.
Anak pemilik kebun berpaling. Dia mendengar suara desah lirih pilu
anggrek bulan yang cantik itu. Interaksi yang intens membuatnya mengerti suara
hati bunga-bunga yang ditanamnya.
“Ada apa
wahai anggrek bulanku yang cantik?” ,tanyanya dengan segenap curahan perhatian
yang dia punya.
Senyap sejenak. Anggrek bulan seolah ingin mengumpulkan semua
keberaniannya untuk mengungkapkan kegalauan hatinya. Gundah gulana.
“Hari ini kami telah meraih sebagian impian kami. Untuk tumbuh dan
berbunga. Menebar harum. Menghiasi kebun bunga impian yang sejak lama
diidam-idamkan ayahmu. Kami pun mekar. Siap untuk dipetik dan berpindah ke
jambangan di toko bunga ayahmu yang kini semakin terkenal. Menanti pembeli.
Atau pun hanya sekedar untuk dipamerkan dan menjadi kebanggaan.”
Anggrek bulan berhenti sejenak. Air matanya berlinang.
“Kami bangga pernah menjadi bagian dan berjuang untuk keberadaan kebun
bunga ini. Sejak pohon yang kutumpangi ini masih berasal dari sebutir biji nan
kecil hingga tumbuh meraksasa seperti sekarang ini. Menaungi ratusan
bunga-bunga lain yang terus bertambah dari waktu ke waktu.”
Dia terus berkata-kata dengan
getir.
“Satu episode kehidupan telah kami lewati. Selama ini kami telah
diragukan dan dirugikan, tetapi kami tetap bertahan. Di awal keberadaan kami
diragukan bisa bertahan dan berkembang seperti sekarang ini karena jumlah kami
terlalu sedikit untuk bisa menjelma menjadi sebuah kebun bunga yang cantik.
Sementara hempasan badai dan topan berhembus amat kencang. Teriknya matahari
sangat panas membakar. Dan tanah tempat kami berpijak pun begitu kering dan
tandus. Nyatanya, kami mampu bertahan. Meski pun, kami telah mengorbankan
banyak hal yang takkan tergantikan oleh apa pun. Termasuk rugi waktu karena
terlambat untuk berbunga dan mekar. ”
Krisan kuning terpana dalam diam. Menanti tutur anggrek bulan.
“Kami mencintai kebun bunga ini. Segenap hormat dan terima kasih tak
terhingga juga kami persembahkan untuk kalian yang telah menjaga, merawat dan
menyirami kami dengan cinta dan dedikasi yang tak terukur. Tak akan pernah kami
melupakan semua yang telah terjadi di antara kita karena itu semua telah
menjadi bagian dari hidup kami. Kami berhutang budi kepada kalian yang telah
menyelamatkan kami dari kesia-siaan. Andai yang lain, mungkin kami sudah mati
merana dan tak berguna. Berkat kalian kami bisa seperti sekarang ini.
Bermekaran. Menebarkan pesona, berharap menjadi sesuatu yang berguna.”
Anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu pun meneruskan curahan
hatinya.
“Namun kini……… setelah kebun bunga
yang cantik ini menjadi besar dan terkenal, di mana banyak orang ingin
berkunjung, berdiam sejenak dan bahkan ingin menjadi bagian di dalamnya, kami
tersadar bahwa kami sebenarnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kecintaan
dan kebanggaan kami terhadap kebun bunga ini tak menjadikan kami lebih berarti
dari bunga-bunga lain yang ada di sini. Bahkan, di saat sang walikota memilih
bunga terbaik di kebun bunga ayahmu untuk dibanggakan kepada tamu-tamunya….,
itu pun bukanlah berasal dari kami……. Padahal seandainya kami diperlakukan sama
seperti anyelir sang terpilih, kami pun bisa lebih indah dari dia……”
Anggrek bulan lainnya di pohon cemara dan flamboyant tampak terisak.
Dengan nyanyian kesedihan yang menyayat hati.
“Kami memang bukan apa-apa, hanya sebutir debu yang hinggap sesaat …lalu
menghilang tersapu angin……..”
Sendu mendayu suara anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu.
Menyimpan misteri hati yang tak mudah dipahami.
Krisan kuning menimpali, “Ini akhir perjuangan yang tragis….., ironis……”
Anak pemilik kebun yang gagah dan baik hati itu merenung sesaat. lalu
berkata, ”Butuh waktu lebih untuk mencerna kata-katamu. Sulit bagiku untuk bisa
menyimpulkan apakah kebanggaan dan kecintaanmu terhadap kebun bunga ini lebih
besar dari kekecewaanmu ataukah sebaliknya kekecewaanmu terlampau besar dan
dalam sehingga mengalahkan kecintaanmu yang telah teruji sekian lama. Namun apa
pun jadinya, kami pemilik kebun dan khususnya aku yang selalu menyiramimu
setiap waktu, bangga mempunyai kalian. Kalian menempati tempat yang khusus di
hati kami. Meski kami tak bisa sepenuhnya mengobati lukamu. Karena
sesungguhnya, kami pun bukan apa-apa di sini. Tak ada yang tahu. Apakah kami
akan terus berada di sini ataukah akan menghilang dari sini diganti pemilik
yang baru.”
Ah, andai itu cukup……..
Kata-kata anak pemilik kebun pengobat hati. Namun entah mengapa anggrek
bulan putih cantik yang sedang mekar itu tak kuasa menahan derai hujan air
matanya. Meski tak ada yang tahu karena ia sekuat tenaga menahan isakannya.
Bahkan daun kering yang jatuh melayang di depannya pun tak tahu.
“Maafkan aku, itu hanyalah ungkapan curahan hati sebatang anggrek bulan
biasa yang tak memiliki arti apa-apa. Lupakan saja. jangan simpan dalam hati.
Biarkan menguap hilang terbawa angin…………….”, suaranya terdengar begitu jauh.
“Sampai kapan pun kata-kata itu akan kusimpan dalam hati. hingga kami
menghilang dari kebun bunga ini ataukah kami terus menjadi bagian di dalamnya.
Hanya waktu yang bisa menjawabnya.” , anak pemilik kebun mengusap anggrek
bulan.
Selanjutnya sunyi senyap Hanya
kesiur angin yang meniup debu-debu tak berarti. Melayang-layang tanpa arah.
Entah sampai kapan dan akan hinggap di mana.
Matahari mulai turun. Semburat jingganya menutupi kaki langit. Dia
meredup. Tak lagi berdiri gagah membusungkan dada dengan garangnya. Bersiap ke
peraduan. Menghimpun energi untuk esok hari. Meski tak pasti. Akankah kembali
bersinar cemerlang menyinari permukaan bumi dan berarti bagi banyak orang,
hewan dan tumbuhan, ataukah hanya akan termangu diam diseret bergulirnya roda
waktu karena terhalang saputan awan hitam tebal pembawa gerimis.
Temaram menjelang.
Anggrek bulan di pohon flamboyant menutup harinya dengan berkata sendu,
“Seharusnya hari ini milik kita ………….”
Meski tak nampak jelas, linangan air di matanya memantulkan bias sisa
cahaya yang ada. Berharap tak akan pernah mati meski bertubi-tubi duka singgah
di sana.
Anggrek bulan di pohon cemara pun meluruh dalam keluh, “Bersakit-sakit
dahulu, lalu mati kemudian………….”
Anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu terdiam. Habis sudah
energinya untuk meyakinkan teman-temannya bahwa akan ada hari kemenangan untuk
mereka di mana jerih payah berbayar senyum manis merekah, seperti yang selama
ini biasa ia lakukan. Inspirasi dan motivasi yang senantiasa ia suntikkan kala
temannya terantuk batu sandungan dan mau menyerah, terbang dan menghilang Dia
lelah. Dia merasa kalah. Everything is
not same anymore.
Di hari yang mereka harapkan adalah miliknya, semua hanya ilusi semu
semata. Hari ini mereka memang meraih sebagian impian mereka. Untuk tumbuh dan
berkembang. Mekar mewangi sepanjang hari, menawan dan memikat hati yang
memandang. Namun hari ini juga mereka tersadar bahwa mereka bukan apa-apa dan
bukan siapa-siapa. Mereka hanyalah tumbal yang dikorbankan. Ini adalah hari di
mana idealisme dan militansi hilang makna tercerabut carut marutnya birokrasi.
Penghargaan memang tak perlu selalu terucap, namun ada kalanya butuh pengakuan
akan sebuah eksistensi.
Senja semakin tiba. Anak pemilik kebun pelan-pelan beranjak pergi.
Diiringi tatap sendu anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu. Dan juga
sebagian teman-teman bunganya yang mengerti. Namun, banyak yang tidak peduli.
Asyik sendiri dengan mimpi-mimpi dan ambisinya.
Anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu memalingkan mukanya.
Menyembunyikan hujan deras air matanya. Tak ingin ia terlihat rapuh meski
sebenarnya begitu. Tak ingin ia ada yang tahu. Biarlah ia yang menata keping-keping
hatinya sendiri. Biarlah kesedihan ini hanya miliknya. Kini, nanti dan
selamanya……
)*Majalengka,
25 Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar