Senin, 07 Mei 2012

ANGGRE BULAN

ANGGREK BULAN
Mereka hanyalah tumbal yang dikorbankan. Ini adalah hari di mana idealisme dan militansi hilang makna tercerabut carut marutnya birokrasi. Penghargaan memang tak perlu selalu terucap, namun ada kalanya butuh pengakuan akan sebuah eksistensi.


“Kenapa harus dia……….?” ,suara anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu terdengar gamang.
Krisan kuning yang berdiri tak jauh mengangguk-angguk mengiyakan.
Pohon cemara kecil di sampingnya menyahut, “ Itulah kenyataannya. Dia yang dipilih. Kau harus menerima….”
Anggrek bulan terdiam. Menerawang sendiri dalam pikirannya. Menyelami samudera hati. Mengembara dalam padang tanya tak bertepi. Berkelana di sebuah negeri atas awan mencari sebuah jawaban. Tak kunjung bersua. Entahlah. Mungkin dia terlalu naïf menafsirkan itu semua. Terperangkap dalam sebuah ceruk teramat dalam yang sulit dipahami. Dalam. Gelap. Hening. Tanpa suara.
Dia menjulurkan tangan mencari pegangan. Cercah sinar masih terlalu jauh untuk menerangi langkahnya. Dia menggerapai dalam gelap. Sia-sia. Dia merasa semakin jauh terperosok dalam kepiluannya.
Seruak langkah kaki membuyarkan kegalauan dan gundahnya. Anak pemilik kebun yang gagah dan baik hati menghampiri dan menyiraminya dengan segayung air yang dia bawa. Air kehidupan yang diambil dari mata air pegunungan di negeri antah berantah. Diramunya dengan segudang ilmu dan pengetahuan dengan harapan bisa membuat anggrek bulan dan ratusan bunga lainnya yang ada di kebun itu menjadi sesuatu yang berguna.
Kesegaran mengaliri tubuhnya. Sulur-sulur akar mengantarkan sinyal-sinyal kehidupan ke seluruh tangkai dan daunnya. Jerih payah anak pemilik kebun tak sia-sia. Ketekunannya menyirami dari hari ke hari kini terbalas sudah. Kelopak bunga cantik menyembul dari sela-sela daun dan akar yang menempel erat di pohon inang. Mekar. Putih. Menebar pesona.
Anak pemilik kebun berpaling. Dia mendengar suara desah lirih pilu anggrek bulan yang cantik itu. Interaksi yang intens membuatnya mengerti suara hati bunga-bunga yang ditanamnya.
“Ada apa wahai anggrek bulanku yang cantik?” ,tanyanya dengan segenap curahan perhatian yang dia punya.
Senyap sejenak. Anggrek bulan seolah ingin mengumpulkan semua keberaniannya untuk mengungkapkan kegalauan hatinya. Gundah gulana.
“Hari ini kami telah meraih sebagian impian kami. Untuk tumbuh dan berbunga. Menebar harum. Menghiasi kebun bunga impian yang sejak lama diidam-idamkan ayahmu. Kami pun mekar. Siap untuk dipetik dan berpindah ke jambangan di toko bunga ayahmu yang kini semakin terkenal. Menanti pembeli. Atau pun hanya sekedar untuk dipamerkan dan menjadi kebanggaan.”
Anggrek bulan berhenti sejenak. Air matanya berlinang.
“Kami bangga pernah menjadi bagian dan berjuang untuk keberadaan kebun bunga ini. Sejak pohon yang kutumpangi ini masih berasal dari sebutir biji nan kecil hingga tumbuh meraksasa seperti sekarang ini. Menaungi ratusan bunga-bunga lain yang terus bertambah dari waktu ke waktu.”
 Dia terus berkata-kata dengan getir.
“Satu episode kehidupan telah kami lewati. Selama ini kami telah diragukan dan dirugikan, tetapi kami tetap bertahan. Di awal keberadaan kami diragukan bisa bertahan dan berkembang seperti sekarang ini karena jumlah kami terlalu sedikit untuk bisa menjelma menjadi sebuah kebun bunga yang cantik. Sementara hempasan badai dan topan berhembus amat kencang. Teriknya matahari sangat panas membakar. Dan tanah tempat kami berpijak pun begitu kering dan tandus. Nyatanya, kami mampu bertahan. Meski pun, kami telah mengorbankan banyak hal yang takkan tergantikan oleh apa pun. Termasuk rugi waktu karena terlambat untuk berbunga dan mekar. ”
Krisan kuning terpana dalam diam. Menanti tutur anggrek bulan.
“Kami mencintai kebun bunga ini. Segenap hormat dan terima kasih tak terhingga juga kami persembahkan untuk kalian yang telah menjaga, merawat dan menyirami kami dengan cinta dan dedikasi yang tak terukur. Tak akan pernah kami melupakan semua yang telah terjadi di antara kita karena itu semua telah menjadi bagian dari hidup kami. Kami berhutang budi kepada kalian yang telah menyelamatkan kami dari kesia-siaan. Andai yang lain, mungkin kami sudah mati merana dan tak berguna. Berkat kalian kami bisa seperti sekarang ini. Bermekaran. Menebarkan pesona, berharap menjadi sesuatu yang berguna.”
Anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu pun meneruskan curahan hatinya.
“Namun kini……… setelah  kebun bunga yang cantik ini menjadi besar dan terkenal, di mana banyak orang ingin berkunjung, berdiam sejenak dan bahkan ingin menjadi bagian di dalamnya, kami tersadar bahwa kami sebenarnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kecintaan dan kebanggaan kami terhadap kebun bunga ini tak menjadikan kami lebih berarti dari bunga-bunga lain yang ada di sini. Bahkan, di saat sang walikota memilih bunga terbaik di kebun bunga ayahmu untuk dibanggakan kepada tamu-tamunya…., itu pun bukanlah berasal dari kami……. Padahal seandainya kami diperlakukan sama seperti anyelir sang terpilih, kami pun bisa lebih indah dari dia……”  
Anggrek bulan lainnya di pohon cemara dan flamboyant tampak terisak. Dengan nyanyian kesedihan yang menyayat hati.
“Kami memang bukan apa-apa, hanya sebutir debu yang hinggap sesaat …lalu menghilang tersapu angin……..”
Sendu mendayu suara anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu. Menyimpan misteri hati yang tak mudah dipahami.
Krisan kuning menimpali, “Ini akhir perjuangan yang tragis….., ironis……”
Anak pemilik kebun yang gagah dan baik hati itu merenung sesaat. lalu berkata, ”Butuh waktu lebih untuk mencerna kata-katamu. Sulit bagiku untuk bisa menyimpulkan apakah kebanggaan dan kecintaanmu terhadap kebun bunga ini lebih besar dari kekecewaanmu ataukah sebaliknya kekecewaanmu terlampau besar dan dalam sehingga mengalahkan kecintaanmu yang telah teruji sekian lama. Namun apa pun jadinya, kami pemilik kebun dan khususnya aku yang selalu menyiramimu setiap waktu, bangga mempunyai kalian. Kalian menempati tempat yang khusus di hati kami. Meski kami tak bisa sepenuhnya mengobati lukamu. Karena sesungguhnya, kami pun bukan apa-apa di sini. Tak ada yang tahu. Apakah kami akan terus berada di sini ataukah akan menghilang dari sini diganti pemilik yang baru.”
Ah, andai itu cukup……..
Kata-kata anak pemilik kebun pengobat hati. Namun entah mengapa anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu tak kuasa menahan derai hujan air matanya. Meski tak ada yang tahu karena ia sekuat tenaga menahan isakannya. Bahkan daun kering yang jatuh melayang di depannya pun tak tahu.
“Maafkan aku, itu hanyalah ungkapan curahan hati sebatang anggrek bulan biasa yang tak memiliki arti apa-apa. Lupakan saja. jangan simpan dalam hati. Biarkan menguap hilang terbawa angin…………….”, suaranya terdengar begitu jauh.
“Sampai kapan pun kata-kata itu akan kusimpan dalam hati. hingga kami menghilang dari kebun bunga ini ataukah kami terus menjadi bagian di dalamnya. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.” , anak pemilik kebun mengusap anggrek bulan.
Selanjutnya sunyi senyap  Hanya kesiur angin yang meniup debu-debu tak berarti. Melayang-layang tanpa arah. Entah sampai kapan dan akan hinggap di mana.
Matahari mulai turun. Semburat jingganya menutupi kaki langit. Dia meredup. Tak lagi berdiri gagah membusungkan dada dengan garangnya. Bersiap ke peraduan. Menghimpun energi untuk esok hari. Meski tak pasti. Akankah kembali bersinar cemerlang menyinari permukaan bumi dan berarti bagi banyak orang, hewan dan tumbuhan, ataukah hanya akan termangu diam diseret bergulirnya roda waktu karena terhalang saputan awan hitam tebal pembawa gerimis.
Temaram menjelang.
Anggrek bulan di pohon flamboyant menutup harinya dengan berkata sendu, “Seharusnya hari ini milik kita ………….”
Meski tak nampak jelas, linangan air di matanya memantulkan bias sisa cahaya yang ada. Berharap tak akan pernah mati meski bertubi-tubi duka singgah di sana.
Anggrek bulan di pohon cemara pun meluruh dalam keluh, “Bersakit-sakit dahulu, lalu mati kemudian………….” 
Anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu terdiam. Habis sudah energinya untuk meyakinkan teman-temannya bahwa akan ada hari kemenangan untuk mereka di mana jerih payah berbayar senyum manis merekah, seperti yang selama ini biasa ia lakukan. Inspirasi dan motivasi yang senantiasa ia suntikkan kala temannya terantuk batu sandungan dan mau menyerah, terbang dan menghilang Dia lelah. Dia merasa kalah.  Everything is not same anymore.
Di hari yang mereka harapkan adalah miliknya, semua hanya ilusi semu semata. Hari ini mereka memang meraih sebagian impian mereka. Untuk tumbuh dan berkembang. Mekar mewangi sepanjang hari, menawan dan memikat hati yang memandang. Namun hari ini juga mereka tersadar bahwa mereka bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Mereka hanyalah tumbal yang dikorbankan. Ini adalah hari di mana idealisme dan militansi hilang makna tercerabut carut marutnya birokrasi. Penghargaan memang tak perlu selalu terucap, namun ada kalanya butuh pengakuan akan sebuah eksistensi.
Senja semakin tiba. Anak pemilik kebun pelan-pelan beranjak pergi. Diiringi tatap sendu anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu. Dan juga sebagian teman-teman bunganya yang mengerti. Namun, banyak yang tidak peduli. Asyik sendiri dengan mimpi-mimpi dan ambisinya.
Anggrek bulan putih cantik yang sedang mekar itu memalingkan mukanya. Menyembunyikan hujan deras air matanya. Tak ingin ia terlihat rapuh meski sebenarnya begitu. Tak ingin ia ada yang tahu. Biarlah ia yang menata keping-keping hatinya sendiri. Biarlah kesedihan ini hanya miliknya. Kini, nanti dan selamanya……
)*Majalengka, 25 Oktober 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar